Aku sendiri tidak bisa makan di tengah-tengah tumpukan sampah seperti itu. Apa lagi ketika aku melihat kerumunan lalat, belatung sebesar jari jempol tanganku yang jalan kian kemari dan bau yang tidak sedap ada di sekitarku duduk. Perut ini terasa mual dan ingin muntah, bahkan keringat dingin keluar........sekelumit gejolak hatiku kala 'live in' di TPA Bantar Gebang, Bekasi.
"Kami memang tidak merasa khawatir akan hidup yang harus kami lalui. Kami memutuskan untuk mengadu nasib sebagai pemulung yang tepat di TPA Bantar Gebang". Itulah ungkap salah satu pemulung mewakili isi hati istri, anak-anak dan dirinya sendiri.
Live in di TPA Bantar Gebang, Bekasi |
Setelah berjalan empat setengah bulan akhirnya aku bisa menikmati juga. Tak terasa waktu terus bergulir. Setahun, dua tahun tiga tahun dst, kami dapat menikmati hasil dari jerih payah kami. Tak kusangka bahwa bekerja sebagai pemulung juga dapat menghasilkan uang banyak. Bahkan terkadang aku tak percaya dengan pendapatanku sebulan bisa mencapai satu sampai dengan tiga juta. Bukan sekedar untuk mencukupi hidup sehari-hari sebagai pemulung, tetapi kami bisa menyisihkan sebagian hasil dari pulungan untuk mencicil hutang kami.
Live in di TPA Bantar Gebang, Bekasi |
Kini hasil pulungan kami harus mulai kami canthel-kan sesuatu. Kami membelikannya emas dan juga kami tabungkan di bank. Situasi ini tampaknya absurd (red). Tapi ini sungguh aku alami.
Setahun kemudian aku memutuskan untuk pulang kampung dan mengadakan syukuran bersama dengan keluarga dan sanak saudara kami. Mereka seolah tidak percaya, ini tidak mungkin. Perayaan syukur berlangsung dengan sangat meriah. Ketika kuceritakan bagaimana perjalanan hidupku sampai dengan sekarang ini, semua orang yang hadir terdiam sesak disusul dengan rasa haru yang luar biasa. Situasi kekeluargaan yang pernah kualami sepuluh tahun yang lalu tampak mulai bersemi kembali. Aku, istriku dan anak-anakku merasa lega.
Seusainya syukuran bersama itu, kami pergi ke habitat-ku sebagai anggota masyarakat pemulung. Al’hamdulillah bahwa Aku dan istriku bisa bertahan dengan pelik-pelik hidup semacam ini. Awalnya adalah nggak ada pilihan lain, namun aku yakini karena kami juga ulet untuk menekuninya. Aku yakin ini bukan sebuah impian".
Demikianlah pengalaman hidup saudaraku di tengah hamparan sampah 108 hektar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar